RAHASIA DI BALIK TANGISAN

Mereka lewat lagi. Entah sudah yang keberapa kali? Sering kutemui mereka setiap kali menaiki kereta tujuan Bogor saat berangkat atau pulang kuliah. Seperti biasa, semua mata langsung tertuju pada mereka. Perasaan iba bercampur haru muncul seketika. Aku segera merogoh kantong baju untuk mengambil uang receh.
Mereka lewat lagi. Lantai gerbong terlihat cukup bersih. Bersama itu pula tangis menggema di sepanjang gerbong. Begitu memilukan sekaligus membuat penasaran. Apakah yang membuat gadis kecil itu menangis? Apakah luka dikakinya demikian sakit? Mengapa luka itu tak jua sembuh kendati sudah diperban dan diberi obat merah hampir setiap hari?
Mereka lewat lagi. Pertanyaan lain muncul dari mulut seorang ibu yang duduk di hadapanku.
“Mengapa gak cari kerja yang lain aja sih?!”
“Iya, jadi pembantu kek, jualan apa kek, daripada kaya gitu!” Temannya menimpali.
Aku menghela nafas. Mencoba bertahan hingga tangis gadis kecil itu kian samar dan akhirnya benar-benar hilang di balik gerbong sebelah.
Umpatan-umpatan sinis masih terdengar. Erasaan iba dan haru masih tersisa. Terbayang adik kecilku di rumah yang manja dan penuh keceriaan. Usianya sebaya dengan gadis kecil tadi. Berada dalam gendongan ibunya, seorang penyapu gerbong. Telapak kaki gadi kecil itu diperban kain kasa yang tak lagi berwarna putih karena telah dibasahi obat merah.
Di sisi lain muncul kecurigaan dalam benakku. Benarkah ada luka yang cukup parah di balik perban itu? Karena seperti yang kulihat di sebuah tayangan televisi, cukup banyak pengemis yang membuat luka tiruan di tubuhnya lalu mengemis di jalan-jalan. Mereka sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatian dan simpati orang. Mereka bia kita temui di pinggir trotoar, di sekitar lampu merah, di tangga-tangga jembatan penyebrangan, di emperan toko, dan tak usah jauh-jauh di depan loket stasiun, di sekitar peron, dan di dalam gerbong kereta.
Tetapi wanita yang satu ini lain daripada yang lain. Tubuhnya nyaris tenggelam di balik kaus oblongnya yang lusuh dan dekil. Rambutnya dikuncir dengan karet gelang. Keringat bercucuran di kening dan di lehernya. Raut wajahnya begitu memelas. Tangan kanannya memgang sebuah sapu lidi berukuran mini. Ya dialah penyapu gerbong yang berpindah dari satu kereta ke kereta lainnya. . atau dengan kata lain ‘pengemis’ yang berdalih sebagai penyapu gerbong demi mendapat sepeser uang dari para penumpang.
Yang lebih unik lagi, wanita itu tidak sendirian. Ada seorang gadis kecil yang berada dalam gendongannya sambil meronta-ronta. Tangisnya yang begitu memilukan mengundang iba di hati para penumpang, sehingga mereka rela menjatuhkan koinnya di atas telapak tangan wanita itu.
Karena dianggap mujarab, taktik tersebut tetap dipertahankan oleh wanita itu setiap ia memasuki gerbong. Luka di telapak kaki anaknya mungkin bisa saja direkayasa sedemikian rupa hingga terlihat asli. Tetapi bagaimana dengan tangis kencang dan erangan yang keluar dari bibir si kecil?
Hal itulah yang membuatku penasaran. Apakah gadis kecil yang sebaya dengan adiku itu benar-benar menangis karena luka yang dideritanya? Mengapa sang ibu tega membiarkan si anak meronta kesakitan dalam gendongannya? Bahkan sepertinya ia senang memanfaatkan derita anaknya itu untuk menarik perhatian dan simpati para penumpang.
Hingga suatu hari tanpa sengaja aku menapat jawaban atas semua pertanyaanku. Sebuah pemandangan yang memilukan nampak di hadapanku.
Wanita berkaos oblong yang lusuh dan dekil itu perlahan mendekat ke arahku. Wanita yang selama ini selalu mengundang iba dan haru di dalam batinku. Wanita yang menyapu gerbong demi gerbong sambil menggendong gadis kecil yang tak berdosa.
Seperti biasa tangis gadis kecil itu akan surut ketika tiba di ujung gerbong. Dari bangku kereta aku menyaksikan mereka dengan seksama. Menunggu peristiwa yang akan terjadi selanjutnya. Peristiwa yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Mereka lewat di hadapanku untuk pindah ke gerbong sebelah. Tangis gadis kecil yang berambut agak pirag itu terdengar lagi bahkan lebih besar dari sebelumnya. Padahal tadi tangisnya sempat merendah. Tubuhnya meronta-ronta menahan sakit. Rupanya itu tidak lain dan tidak bukan karena si ibu sengaja menghantamkan luka si anak pada sebuah besi di antara sambungan kereta. Kejam sekali!
Percaya atau tidak. Peristiwa yang berlangsung sekian detik itu terjadi di depan mataku. Aku spontan mengumpat perbuatan wanita itu. Perasaan iba dan simpatiku selama ini berubah menjadi perasaan geram dan muak. Pertanyaan baru muncul, yaitu mengapa ia begitu tega melakukan hal itu pada anaknya demi mendapatkan sepeser uang? Gadis kecil itu benar-benar anaknya atau bukan? Kalau memang anaknya mengapa ada seorang ibu yang demikian tega?
Kekecewaanku semakin bertambah, ketika tanpa sengaja aku berpapasan dengan wanita itu. Aku kaget melihat dia berpenampilan lain dari yang biasanya. Pakaiannya rapih dan licin. Rambutnya dibiarkan tergerai. Wajahnya dihiasi bedak dan lipstik. Dia melangkah sendirian sambil menenteng kantung plastik. Pulang belanja sepertinya. Tidak ada lagi gadis kecil dalam gendongannya yang senantiasa meronta-ronta sambil menahan sakit luar biasa.

(Kenangan semasa kuliah)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "RAHASIA DI BALIK TANGISAN"