BATOK YANG TAK BOTAK


Di suatu sore yang sederhana, menyebrangi rel dan jalan raya dengan mobil yang melintas garang. Dari sinilah cerita bermula, saat hamparan buah kelapa menghias di depan muka. Ini sama sekali bukan pantai, lengkap dengan terpal dan kursi panjang.

Kupesan kelapa langsung dari batoknya tanpa dituang ke dalam gelas, membayangkan daging kelapa muda yang legit, lembut dan manis. Terbayang kesegaran mengalir di kerongkongan, terbayar sudah rasa lelah setelah seharian penuh berjalan-jalan dan tentunya menghapus rasa penasaran, merasakan bagaimana meminum es kelapa langsung dari batoknya.

Ibu tua datang dengan dandanan ala lelaki; rambut cepak, kemeja lusuh dan celana pendek selutut. Membelah batok kelapa dengan kasar, mengerok dengan asal, dan terakhir menambahkan sebongkah es batu sekedar hiasan. Kemudian dihidangkan padaku yang sudah menanti dengan tak sabar.

Kutuangkan sirup vanila yang rasanya lebih mirip pemanis buatan atau lebih parah, bahan kimia! Kutelan daging kelapa muda mentah-mentah, berharap akan ada serutan yang banyak dari satu kelapa utuh, tapi… setelah airnya surut, baru kumengerti, betapa curang sang ibu yang berdandan ala lelaki. Daging kelapa dikeroknya sedikit saja dan sisanya masih menempel erat di dinding batok bagian dalam.

Penuh rasa kesal, kukerok dengan ujung sendok sampai ujungnya menjadi bengkok, kulakukan semua itu tepat di wajah sang pedagang yang rupanya tengah mengintaiku dari kejauhan, seolah ingin melihat bagaimana reaksiku atau mungkin melihat betapa dungunya aku, membeli satu kelapa utuh dengan dagingnya yang tak pernah utuh, karena begitulah yang terjadi pada semua kelapa yang disajikan langsung dengan batoknya, dibelah dengan kasar, dikerok dengan asal, dan terakhir ditambahkan sebongkah es batu sekedar untuk hiasan. Sisa daging kelapa muda yang masih menempel erat di dinding batok bagian dalam itu, tak akan rela untuk dibuangnya, melainkan akan dikeroknya kembali setelah pembeli pulang dan dijualnya secara eceran. Betapa senang ia melihat keterbatasan sang pembeli yang tak mungkin mengerok sendiri dengan sendok yang hampir patah.

Itulah asumsiku, mungkin juga suudzonku namun cukup beralasan, karena kusaksikan sendiri kumpulan batok kelapa yang menggunung di pinggir jalan dan kini jadi tempat lalat-lalat terbang dan bersarang, semunya mulus bersih telah dikerok sampai habis.

Aku menyeringai tajam dan tertawa penuh kemenangan seolah yakin benar akan taktik si pedagang. Kuobok-obok isi batok dan kukerok sendiri dagingnya dengan kuku-kukuku yang tak tajam. Sia-sia memang tapi itu bukan karena aku lapar melainkan bentuk protesku…

Tapi rasa bersalah muncul tiba-tiba, membiarkan pembeli eceran memakan sisa-sisa daging kelapaku yang telah dikerok kembali setelah aku pulang, rasa yang mungkin tak dimiliki oleh pedagang itu…

November 2009
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

1 Response to " "

  1. Nang 'Ayra' Haerudin says:
    30 November 2009 pukul 20.51

    jangan mudah terlena dengan penampilan yang tampak oleh mata.
    boleh jd kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu, boleh jd kamu membenci sesuatu padhal itu yang terbaik untukmu...