BERAWAL DARI MIMPI ATAU TIDAK SAMA SEKALI

Dulu saya adalah orang yang paling takut bermimpi bukan karena tak punya mimpi melainkan takut jika mimpi itu tidak terwujud, saya hanya bisa menangis, dan membiarkan mimpi-mimpi itu terbang tertiup angin, apakah setelah itu bisa saya temui kelegaan hati? Ternyata tidak sama sekali, tiba-tiba saya merasa hampa, begitu sendirian, tanpa impian besar yang biasa mengisi rongga hari-hari saya, begitu pasrah dan kesakitan, mimpi itu pun mengabur, bersama waktu yang sesungguhnya tak pernah mau menungggu...


Menengok kembali tujuh tahun silam ketika jiwa muda itu masih menggebu-gebu, terbayang tembok tinggi kampus negeri, ingin saya taklukan tembok itu, memperdalam ilmu bahasa dan sastra, sesuatu yang saya cintai, saya begitu tergila-gila pada sastra, ingin habis dan hanyut dihisapnya, berbagai cara saya lakukan hingga jalan melenceng tak sanggup saya hiraukan, saya mendaftar dengan lima orang teman, berbekal lembaran rapor, tapi ternyata tak semudah itu mimpi datang menjadi kenyataan, saya dan satu orang teman saya ditolak sementara tiga orang lainnya melenggang senang menuju Kota Kembang.


Saya lewati hari-hari yang menyesakkan dada, dengan banjir air mata, tapi otak saya berpikir cepat, untuk apa mengawali sebuah mimpi besar dengan sebuah kecurangan, begitu batin saya menghibur diri, akhirnya saya masuk kampus swasta, di situ saya pun tetap bisa mendalami ilmu bahasa dan sastra, dan itu jauh lebih indah, melewati batas impian saya, belum tentu saya bisa merasakannya jika berada di kampus impian saya.

Kini saya bermimpi lagi, mimpi yang sederhana, seperti wanita kebanyakan, tentunya saya ingin berumah tangga, tetapi saya pun ingin tetap belajar, mengejar impian saya kuliah pascasarjana, ketika impian itu masih tertunda, lagi-lagi saya menghibur diri, bukankah belajar bisa di mana saja, orang-orang, sekeliling, alam dan isinya, bukankah semua pun bisa menjadi guru yang istimewa, maka impian kuliah S2 itu pun mendadak lenyap begitu saja.

Sungguh saya tak berani seperti Ikal atau Arai di ’Sang Mimpi’, bermimpi hebat menginjakkan kaki di Universitas Sorbonne Paris, saya lebih cenderung terpikat pada sang guru, Pak Balia, seorang guru muda pengajar sastra yang inspiratif dan bersemangat, dengan kata-kata mutiaranya kepada para muridnya di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Pulau Belitung, "jelajahi Indonesiamu yang luas, jengkali Afrika yang eksotis, jelajahi Eropa yang megah." Betapa irinya saya, bisakah saya seperti dia? Tetapi saya sendiri merasa begitu kering, bagaimana sanggup mengalirkan motivasi hebat, mengajak murid-murid saya bergerak, mengelilingi dunia, menginjakkan kaki di berbagai dunia, sementara saya sendiri sebagai guru mereka tak sanggup bermimpi demikian hebatnya.

Lagi-lagi watak baik berbisik, teringat kata-kata magis seorang dosen sewaktu masih kuliah, bahwa ketika kita menjadi guru, maka di belakang kita terdapat armada besar, wajah-wajah yang biasa kita temui di bangku-bangku kelas, mereka adalah generasi penerus bangsa yang kelak akan memimpin negeri ini, mimpi saya adalah mewujudkan impian mereka, dan menurut saya itu jauh lebih indah ketimbang menginjakkan kaki di berbagai belahan dunia. Itulah mimpi saya…

”Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!”
- Arai

”Yang penting dari mimpi, bukanlah seberapa besar mimpi itu, tapi sebesar apa kita untuk mimpi itu.”
- Pak Balia

”Orang macem kite nih harus bisa bermimpi, kalo tak bermimpi kite kan mati.”
”Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”
- Arai

Sang Pemimpi-Andera Hirata
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "BERAWAL DARI MIMPI ATAU TIDAK SAMA SEKALI"