PUTIH TAK SELALU BERSIH


Selama ini putih identik dengan bersih karena warna putih memang melambangkan kesucian. Tetapi kejadian yang kualami kali ini sungguh bertolak belakang…

* * *
Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu bagi sebagian besar murid-muridku karena hari ini adalah hari pengambilan rapor. Setelah libur yang menyenangkan selama seminggu, anak-anak harus dihadapkan pada situasi yang akan membuat hati mereka bertambah senang atau justru sebaliknya, terpuruk!
Hari ini pula akan ditampilkan potret sesungguhnya yang merupakan rekaman prestasi mereka selama tiga bulan terakhir setelah mid test berlalu. Acara pengambilan rapor ini tentu saja membuat resah para murid dan orang tua, menimbulkan tanda tanya dan melahirkan perasaan deg-degan. Aku sendiri sebagai wali kelas merasa seperti bom atom yang siap meledak, tak sabar rasanya mencurahkan kebahagiaan sekaligus kekesalan.
* * *
Kereta datang cukup telat pagi ini otomatis aku juga telat tiba di sekolah padahal aku sudah berangkat pukul tujuh lewat, sedangkan pengambilan rapor akan dimulai pukul sembilan.
Untunglah, ketika aku tiba di sekolah rupanya rapor murid-muridku sudah diprint, tinggal ditandatangani dan dibubuhi stempel. Aku mengerjakan itu semua dengan perasaan tak nyaman karena dari 27 orang muridku hanya tujuh orang yang mendapat rapor hijau sedangkan sisanya, 20 orang mendapatkan rapor putih. Sebenarnya ada apa dengan rapor hijau dan rapor putih?
* * *
Mulai semester ini, memang mulai diberlakukan kembali rapor hijau dan rapor putih. Sebagai guru yang baru saja diberi mandat sebagai wali kelas, tentu saja hal itu masih terdengar asing bagiku. Setelah diberi penjelasan oleh staf kurikulum barulah aku mengerti, ternyata rapor hijau itu adalah rapor yaang diberikan untuk murid yang keseluruhan nilai rapornya sudah tuntas, bersih dari remidial. Sedangkan yang putih justru sebaliknya, rapor itu ditujukan kepada murid yang nilainya belum tuntas atau tidak memenuhi nilai SKBM/KKM, itu berarti yang putih belum bersih karena ada setitik ‘noda’ walaupun mata pelajaran yang tidak tuntas hanya satu.
Secara tidak langsung rapot hijau putih itu menjadi momok yang menakutkan bagi murid-murid, tetapi jika dikaji lebih jernih, menurutku keberadaan rapor putih itu bisa menjadi bahan intropeksi diri sekaligus untuk memotivasi murid-murid supaya pada semester berikutnya mereka harus lebih giat belajar agar mendapatkan rapor hijau.
* * *
Jam sembilan mulai bergeser, aku memasuki kelas dengan perasaan panik, seakan-akan aku sendiri yang akan mendapatkan rapor putih. Ketika memasuki kelas, wajah-wajah yang kurindu tengah terpaku menyimpan rasa ingin tahu, sebagian berteriak, dan sebagian memeluk temannya.
Saat yang dinanti akhirnya tiba juga, tapi sebelum kubagikan lembaran hijau putih itu, aku sempat menyinggung nilai-nilai mereka yang jatuh, aku sedikit keras kala itu tetapi itu kulakukan demi kebaikan mereka di masa berikutnya. Setelah itu, barulah kuumumkan 10 besar, ketegangan mulai mencair dengan sorak sorai, bahkan sebagian ada yang menangis karena terharu.
Aku sendiri ikut terharu, melihat keberhasilan anak-anakku dan kebahagiaan mereka, betapa indahnya jika berhasil mendapatkan yang terbaik, memperoleh hasil maksimal bahkan mungkin jauh lebih indah dari yang diharapkan.
Kemarahanku pun menguap begitu saja, rasa panikku berganti dengan rasa senang ketika kulihat wajah-wajah sendu mereka yang berubah menjadi rona bahagia. Selamat pun terucap disertai bungkusan kecil yang sederhana untuk peringkat ke-1, ke-2, dan ke-3. Sementara bagi yang mendapat rapor putih, kuhibur mereka supaya jangan berkecil hati, masih ada kesempatan, dan kuberharap semoga rapor-rapor yang putih itu bisa menjadi ’putih’ yang sesungguhnya amin…

(Salam sayang untuk semua murid-muridku di kelas 8 D)
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "PUTIH TAK SELALU BERSIH"