MAMAN S. MAHAYANA

Di tengah keasyikan mengedit postingan, mendadak kata-kata berhenti meluncur kehabisan tenaga, begitu payah di sini merenda puitis dan romantisme kata-kata, sunyi ide terbakar habis oleh rasa lelah. Iseng saya buka profil orang-orang lama yang pernah menjadi karib hingga orang-orang yang berjasa, saya ketik nama MAMAN S. MAHAYANA, terbukalah mahayana-mahadewa.com maka berputar pula ingatan saya tentangnya...


Beliau adalah seorang kritikus sastra Indonesia, lebih dari itu, beliau adalah dosen saya sewaktu menimba ilmu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan Bogor, entahlah apakah beliau masih mengingat saya, tetapi saya masih ingat, sungguh, dengan segenap bangga bisa menjadi muridnya. Saya mengenal beliau ketika mengikuti kelas Jurnalistik dan Sastra Perbandingan, dua mata kuliah yang menjadi kecintaan saya karena saya memang mencintai menulis. Pertama mulai menulis betapa naifnya saya yang memandang tulisan yang indah adalah dari penampilannya, saya buat border di setiap sisinya, layaknya sebuah sertifikat, bukan pujian yang saya dapat namun sebaliknya. Tersadarlah saya bahwa tulisan tak hanya rangkaian kata-kata atau border yang indah menghias setiap sisinya, tapi lebih dari itu: berbobot, bernas, penuh daya magis, dan tentunya dapat menyentil sisi lain di luar individualisme kita. Itulah kedahsyatan yang bisa saya tangkap dari caranya mengajar, tutur kata dan gayanya, begitu wajar dan apa adanya, begitu sederhana dan bersahaja, dengan kemeja dan celana jeansnya, kadang sambil menyeruput kopi, tersenyum dan bahagia.

Di pelajaran menulis berikutnya, saya mulai mengubah haluan, mencoba menulis esai yang diangkat dari keseharian, realitas sosial, keterpinggiran kaum marginal, dan hal-hal lain di luar sana yang kadang dipandang sebelah mata, saya angkat kisah seorang ibu penyapu gerbong kereta dan anaknya yang menangis meronta-ronta yang kemudian saya beri judul "Rahasia di Balik Tangisan". Ini sungguh kisah nyata, karena kebetulan saya tak pernah lepas dengan kereta, hampir sembilan tahun menjadi kawan karib, mengantar dan menjemput saya tanpa bosan. Tak disangka saya berhasil memperoleh nilai A PLUS, ditambah sedikit catatan ”kirim ke Radar Bogor” tetapi saya begitu merendah diri, merasa tak pantas menulis di media, takut tidak bagus dan tidak diterima, akhirnya saya pendam tulisan itu bertahun-tahun lamanya, menjadi kutu dalam lemari atau ngengat dalam tumpukan kertas-kertas usang saya sejak zaman sekolah. Di akhir ujian semester, ketika beliau menjadi pengawas saya, tiba-tiba beliau menepuk pundak saya, ”lanjutkan menulis, kamu punya potensi.” seketika saya menjadi berbunga, tetapi masih juga tak percaya, mampukah saya menjadi penulis?

Begitulah Pak maman yang sederhana namun begitu dahsyat mengalirkan motivasi dan kepercayaan diri di batin setiap anak-anak muda seperti saya, yang begitu takut untuk terjun, begitu malu-malu dan merasa tak berguna, sampailah saya pada kata-katanya yang menggelitik bahwa kegiatan menulis dapat dianalogikan dengan berenang. Seseorang hanya mungkin dapat berenang, jika ia berlatih berenang di dalam beningnya air kolam, di tengah arus deras sungai, dalam dinginnya danau atau dalam hempasan gelombang laut. Kita harus menceburkan diri ke dalam kolam, berkelok-kelok mengikuti aliran sungai, menyelam ke kedalaman danau atau menentang deras gelombang laut, jika memang kita ingin mahir berenang. Tanpa itu, mustahil kita akan dapat berenang, jadi belajar menulis tidak seperti berenang di dalam kelas. Siapa pun yang belajar berenang di dalam kelas, hanya akan pandai dan mungkin juga menguasai teori berenang. Tetapi, sampai kapan pun mustahil ia bisa berenang, meskipun mungkin saja teori-teori tentang itu sudah dikuasai di luar kepala.

Karena itulah saya ingin belajar menulis dengan menulis, bukan sekedar menghapal rumus-rumus kebahasaan dan teori-teori menulis, saya hanya ingin menulis, maka menulislah. Terima kasih Pak Maman atas bekal ilmu yang kau berikan.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "MAMAN S. MAHAYANA"